Jumat, 19 April 2013


SALAHUDDIN AL-AYYUBI
Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
Buntut dari pengepungan Kairo yang dilakukan oleh orang-orang Kristen, Asaduddin Syirkuh paman Salahuddin beserta enam ribu pasukan dikirim ke Mesir dan Salahuddin al-Ayyubi juga termasuk dari pasukan tersebut. Dengan datangnya Salahuddin, orang-orang Kristen angkat kaki dari Mesir dan demikianlah bagaimana proses kedatangan orang-orang Ayyub di Mesir.
Asaduddin Syirkuh wafat setelah dua bulan kedatangannya di Mesir dan Salahuddin al-Ayyubi mengambil alih posisinya sebagai panglima dan gubernur Mesir.  Konsekuensi pengalihan kekuasaan ini, membuat pengaruh dan kekuasaan Khalifah Bani Fatimiyah semakin berkurang dan yang tersisa hanyalah namanya saja sebagai penguasa. Hingga beberapa tahun setelahnya, Salahuddin pada khutbah-khutbahnya menggantikan nama Khalifah Abbasiyah sebagai ganti nama Khalifah Fatimiyah dan demikianlah pemerintahan Bani Fatimiyah di Mesir menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintahan Ayyubi.
Salahuddin sangat menentang orang-orang Syiah Mesir dan dengan menghancurkan simbol-simbol dan syiar-syiar Syiah, ia berusaha memberangus Syiah hingga ke akar-akarnya. Ia terkadang bersikap toleran dengan orang-orang Kristen namun bersikap tegas dan keras dalam menghadapi orang-orang Syiah. Salahuddin berusaha keras menyebarkan fikih Syafi'i dan menyebarluaskan mazhab Syafi'I sebagai ganti mazhab Syiah Ismaliyyah.
Popularitas Salahuddin intinya berpulang pada kiprahnya pada pelbagai peperangan Salib. Salahuddin banyak mencetak orang-orang hebat di pelbagai kota dan menguatkan pondasi-pondasi pemerintahannya sehingga orang-orang Eropa tidak mampu berbuat macam-macam. Dari sisi lain, ia menyerang kota-kota yang diduduki oleh orang-orang Eropa dan menaklukkan kota-kota tersebut serta menangkapi orang-orang Eropa atau mengusir mereka dari kota-kota tersebut.
Salahuddin banyak menduduki kota-kota dalam tempo kurang dari lima tahun. Namun puncaknya adalah penaklukan Baitul Muqaddas. Salahuddin dengan penaklukkan Baitul Muqaddas dari tangan orang-orang Kristen mampu mencetak dirinya sebagai orang terkenal pada dunia Islam.
Salahuddin Yusuf bin Ayyub bin Syadzi yang kemudian setelah itu terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi (orang-orang Eropa menyebutnya sebagai Saladin), merupakan salah seorang adalah salah seorang panglima perang dan jenderal dalam sejarah Islam. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam di hadapan agresi orang-orang Kristen Eropa yang akan kita bahas bersama pada kesempatan ini.
Najmuddin Ayyub adalah ayah raja-raja Ayyub yang hidup di Tikrit dan Salahuddin Ayyubi juga lahir di kota tersebut. Ia tinggal di kota ini suku Kurdi ini dan keluarga Ayyubi adalah termasuk sebagai salah satu kaum pada suku Kurdi.
Namun karena dominasi bangsa Arab pada masa itu sehingga mereka kurang dikenal sebagai suku Kurdi. Hal ini disebabkan oleh karena pada masa itu bangsa-bangsa selain Arab sebagai bangsa khusus yang memiliki kekuasaan.
Najmuddin Ayyub hidup pada masa Imaduddin Zanggi penguasa kota Balbak (Ba'labak, Libanon Selatan). Salahuddin semenjak kecil sangat gemar mempelajari strategi dan teknik berperang, khususnya bermain pedang dan berperang dengan pisau. Pada akhirnya Salahuddin menguasai seni berperang ini. Kemungkinan besar, Salahuddin telah mengenal fikih Syaf'i semenjak masa kecilnya; mazhab fikih yang kelak ia usahakan penyebarannya.
Salahuddin tentulah seorang Sunni fanatik dan bermazhab Syafi'i.  Tatkala berhasil merebut kekuasaan di Mesir, Salahuddin berusaha keras untuk menyebarkan mazhab ini dan menjadikanya sebagai mazhab resmi menggantikan mazhab Syiah yang akan kami jelaskan nantinya.
Masuknya Salahuddin ke Mesir dan Akhir Pemerintahan Bani Fatimiyyah
Orang-orang Kristen pada awal-awal tahun perang Salib mampu menaklukkan banyak daerah yang didiami oleh masyarakat Muslim dan penaklukan ini telah banyak memompa semangat mereka sehingga tertanam keinginan untuk menaklukkan Kairo, ibu kota pemerintahan Bani Fatimiyyah.
Pasukan besar orang-orang Kristen bergerak ke arah kota Kairo dan merebut, merampas dan membunuh orang-orang yang tinggal daerah-daerah yang terdapat dalam lintasan perjalanan menuju Kairo di antaranya kota besar Belbeis (Mesir). Pada akhirnya mereka sampai di Kairo dan mengepung kota Kairo. Namun warga kota Kairo yang merasa takut jangan-jangan Faranggi memperlakukan orang-orang di Kairo sebagaimana apa mereka lakukan di Bilibis bangkit mengusung perlawanan membela kota mereka.
Al-'Adhid yang merupakan Khalifah Bani Fatimiyyah memerintah di tempat itu meminta bantuan dari pemerintahan Bani Abbasiyah. Ia meminta kepada pemerintahan Abbasiyah untuk mengirim bala tentara untuk berperang dengan pasukan orang-orang Kristen. Al-'Adhid mengetahui dengan baik bahwa tanpa bantuan, ia tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi orang-orang Barat. Karena itu ia memutuskan supaya Asaduddin Syirkuh panglima besar dan paman Salahuddin untuk memimpin pasukannya menuju Kairo.
"Asaduddin dengan enam ribu bala tentara bergerak menuju Mesir dan sebelum bergerak, ia memenuhi segala kebutuhan bala tentaranya. Ia memberikan dua puluh Dinar kepada setiap prajuritnya. Terdapat sekelompok orang juga yang berkhidmat kepadanya dan Salahuddin Yusuf bin Ayyub bersama ayahnya Ayyub saudara Syirkah ikut serta bersamanya. Setelah bala tentara tersebut mendekat ke Kairo, Eropa menarik pasukannya dan kembali ke kotanya. Syirkuh pada pertengahan tahun tersebut memasuki kota Kairo. Al-'Adhid Lidinillah Khalifah Bani Fatimiyyah  memberikan penghargaan kepadanya dan ia dan bala tentaranya ditempatkan pada satu tempat yang khusus."
Asaduddin setelah beberapa memasuki Kairo mampu membunuh Perdana Menteri Khalifah, Syawar dibantu oleh para jenderalnya dan sesuai dengan permintaan al-'Adhid sendiri. Syawar sebelumnya adalah panglima yang berkuasa dan memerintah pada batasan tertentu di Mesir."
Dengan kematian Syawar, Asaduddin telah menjadi orang yang sangat penting di Kairo. Praktis, dengan pengaruh ini, Al-'Adhid hanya mengemban nama sebagai khalifah saja. Namun setelah menaklukkan Kairo, Asaduddin tidak berumur panjang dan ia meninggal dunia dua bulan setelah itu.
Setelah Asaduddin, orang-orang berbeda pendapat tentang siapa yang layak menggantikannya sebagai panglima, hingga sesuai dengan permintaan Khalifah Bani Fatimiyyah dan sebagian jenderal, mengangkat Salahuddin Yusuf bin Ayyub sebagai penggantinya dan demikianlah pemerintahan Salahuddin bermula di Mesir.
Setelah Salahuddin naik takhta, tidak tersisa bagin Al-'Adhid kekuasaan kecuali nama saja sebagai khalifah. Ia sama sekali tidak memiliki peran dalam urusan pemerintahan hingga ia jatuh sakit dan ditarik dari pemerintahan yang akan kita bahas pada bagian pemerintahan Bani Fatimiyyah.
Pemerintahan Bani Fatimiyyah
Pemerintahan Bani Fatimiyyah dapat disebut sebagai pemerintahan Alawi; sebuah pemerintahan yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan masa pemerintahan yang panjang. Pemerintahan Bani Fatimiyyah bermula semenjak tahun 296 H dan berakhir pada tahun 567. Khalifah Pertama Bani Fatimiyyah bernama al-Mahdi Billah. Ia adalah Abu Muhammad Ubaidillah bin Ahmad bin Ismail Ketiga (Tsalits) bin Ahmad bin Ismail Tsalits (Kedua) bin Ismail A'raj bin Ja'far al-Shadiq As.
Adapun terkait nasab-nasab yang dinukil bagi penguasa Bani Fatimiyyah yang lain terdapat perbedaan. Namun apa yang pasti dari perbedaan nasab ini adalah bahwa mereka adalah Alawi dan Ismaili, sambungan nasabnya hingga Ali."
Para Khalifah Bani Fatimiyyah banyak membantu penyebaran Syiah di Mesir yang tentunya bukan tempatnya di sini untuk membahas masalah itu. Namun demikian kita akan mencukupkan tulisan ini bahwa Bani Fatimiyyah mengibarkan bendera Syiah dan menyatakan Syiah sebagai mazhab resmi orang-orang Mesir.
Kejatuhan Bani Fatimiyyah disebabkan dua hal yang mereka miliki pada akhir-akhir pemerintahannya:
Para menteri Bani Fatimiyyah memperoleh kekuasaan besar sehingga memperlemah kekuasaan para khalifah Bani Fatimiyyah. Rapuhnya fondasi-fondasi pemerintahan; para menteri memperoleh kekuasaan  dan mereka saling memperbutkan kekuasaan satu sama lain. Perebutan kekuasaan internal ini telah melemahkan internal pemerintahan. 
Al-'Adhid, Khalifah Terakhir Bani Fatimiyyah tidak terlalu panjang berkuasa karena kebanyakan urusan pemerintahan berada di tangan para menteri. Salah satu menteri yang paling berpengaruh dan paling berkuasa adalah Syawar yang kemudian terbunuh di tangan Asaduddin Syirkuh.
Setelah kematian Syawar, Asaduddin mengambil alih urusan pemerintahan Mesir. Asaduddin yang bermazhab Sunni dan merupakan salah seorang mitra koalisi Khalifah Baghdad, mengambil alih urusan pemerintahan yang merupakan penyebar Syiah. Pemerintahan Bani Fatimiyyah memandangnya dirinya sebagai musuh pemerintahan Baghdad menujukkan pemerintahan Bani Fatimiyyah berada alam kondisi yang sangat terjepit. Pengurusan pemerintahan yang berada di tangan Asaduddin disertai dengan penguasa yang lemah, telah menjadi cikal-bakal runtuhnya pemerintahan Bani Fatimiyyah. 
Setelah Asaduddin, Salahuddin naik takhta kekuasaan dan memberikan beberapa potong tanah yang sangat berharga kepada sanak saudaranya yang datang kepadanya. Ia mempersempit ruang gerak para pendukung Adhid dan ia sendiri yang langsung mengatur urusan pemerintahan. Setelah beberapa lama, Adhid jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia, pada tahun 567. 
Pada masa ini, masyarakat menunjukkan sikap acuh-tak-acuh terkait dengan seseorang yang namanya harus disampaikan pada mimbar-mimbar sebagai khalifah, hingga hari Jum'at dan seseorang naik ke atas mimbar menyampaikan khutbah dan menyebut nama al-Mustadhi (Khalifah Abbasiyah) dan tiada seorang pun yang protes atas penyebutan nama itu. Di Mesir, setelah itu dan seterusnya, khutbah yang  menyebut nama Bani Abbasiyah disampaikan dan Mesir pada saat itu lepas dari pemerintahan Bani Fatimiyyah dan Salahuddin Yusuf bin Ayyub tanpa adanya saingan dan penentang pemerintah di Mesir."
Demikianlah pemerintahan Bani Fatimiyyah berakhir dan Salahuddin Ayyub menjadi penguasa tanpa penentang.
Salahuddin Ayyubi dan Orang-orang Syiah
Pemerintahan-pemerintahan Sunni pada umumnya tidak memiliki hubungan baik dengan orang-orang Syiah. Umumnya mereka berusaha melenyapkan Syiah yang hidup di sekeliling mereka. Bahkan pada kebanyakan hal, para penguasa Sunni berlaku baik dan hormat terhadap pemeluk agama lainnya seperti Yahudi dan Nasrani. Bahkan mereka memberikan jabatan-jabatan kepada mereka. Namun mereka tidak berlaku seperti ini terhadap Syiah. Mereka akan memerangi Syiah dalam bentuk yang terburuk.
Atas hal itu, kita dapat menyebutkan dalil-dalil dan bukti-bukti atas perlakuan ini yang memerlukan pembahasan lain dan akan kita bahas pada kesempatan yang lain.
Pemerintahan Dinasti Ayyubi yang puncaknya diduduki oleh Salahuddin berdasarkan sirah ini, berusaha keras untuk memberantas ajaran Syiah di Mesir. Usaha ini boleh jadi ditopang oleh selaksa dalil. Dan satu hal yang pasti dari dalil tersebut adalah dalil-dalil mazhab. Salahuddin Ayyub adalah seorang pemeluk mazhab Syafi'i yang sangat fanatik dan tidak kuasa membendung keberadaan kaum minoritas seperti Syiah. Salahuddin sedemikian memerangi orang-orang Syiah sehingga seolah-olah menjadi taklif syar'i.
Di samping itu, ia juga memiliki dalil-dalil politik; karena pemerintahan Bani Fatimiyyah adalah pemerintahan Syiah dan Salahuddin mengambil alih pemerintahan dari mereka dan sebagai ikutannya ia menganggap orang-orang Syiah sebagai rival yang besar kemungkinan suatu hari orang-orang Syiah akan bangkit melawannnya. Dengan demikian Salahuddin menyatakan perang dan perlawanan melawan Syiah.
Namun dengan dua dalil, pelbagai peperangan yang terjadi di luar Mesir, ia berusaha untuk tidak banyak mempekerjakan prajurit di Mesir. Karena itu, ia berusaha menjadikan perang melawan orang-orang Eropa sebagai prioritas pekerjaannya. Pada kesempatan ini kita akan membahas secara ringkas beberapa perlawanan dan terkadang sikap tidak ksatria Salahuddin terkait dengan Syiah.
Berperang melawan ajaran-ajaran dan simbol-simbol mazhab Syiah: Salahuddin mengisolir ulama Syiah dan merusak sekolah-sekolah mereka atau merubahnya menjadi sekolah-sekolah Sunni. Ia juga memerintahkan untuk membakar perpustakaan besar Bani Fatimiyyah. Dan yang paling penting adalah syiar-syiar Syiah harus dihentikan. Di antara syiar tersebut adalah Asyura. Salahudin mengumunmkan hari Asyura sebagai hari gembira dan berpesta nasional. Tindakannya ini telah menjadi penghalang besar pelaksanaan acara Asyura di Mesir bagi orang-orang Syiah. Demikian juga, ungkapan "Hayya 'ala Khair al-'Amal" yang merupakan salah satu syiar mazhab Syiah dihapus dari azan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah 565. Ia menginstruksikan supaya nama-nama para khalifah rasyidun yang merupakan simbol Ahlisunnah disebutkan pada setiap khutbah. Pergantian para hakim Syiah adalah salah satu tindakan Salahuddin dalam melenyapkan Syiah. Dengan menempatkan hakim Syafi'i sebagai ganti hakim Syi'ah berusaha supaya fikih Syiah dihapuskan dan fikih Syafi'i dijalankan di tengah masyarakat Mesir sehingga masyarakat akrab dengan jenis fikih ini. Pada sebagian waktu berujung pada adanya pemberontakan-pemberontakan Syiah di beberapa daerah namun Shaluhuddin lebih memilih melakukan kegiatan-kegiatan kultural dan ideologikal, namun ia tetap saja melakukan perlawanan militer melawan Syiah. Menjatuhkan dan mengejar orang-orang Syiah merupakan salah satu pekerjaan serius para menteri di bawah pemerintahan Salahuddin. Pada masa Salahuddin menjadi Syiah adalah sebuah tindak pidana dan orang-orang Syiah akan ditindak secara hukum dan diseret ke hadapan pengadilan yang hakimnya dipilih oleh Salahuddin hanya karena mereka Syiah.[19] Mengatur urusan ekonomi dengan melibatkan pihak pemerintah secara aktif: Pada akhir-akhir pemerintahan Bani Fatimiyyah, kondisi ekonomi masyarakat sangat susah dan dua ratus ribu Dinar yang harus dibayar oleh rakyat setiap tahunnnya. Namun pada masa Salahuddin, ia memberikan kelonggaran kepada rakyat untuk membayar sekali saja pajak mereka.[20] Hal ini dilakukan supaya rakyat akan senantiasa bergantung kepada pemerintahan Salahuddin dan melupakan pemerintahan Syiah dan pemikiran Syiah. Mendirikan sekolah-sekolah Syafi'i: Salahuddin yang berusaha menyebarkan mazhab Syafi'i mendirikan sekolah Syafi'i di Mesir dan melalui madrasah ini kebanyakan alim dan pendakwah Syafi'Ii akan memasuki kehidupan masyarakat sehingga dapat membantu penyebaran mazhab Syafi'i di Mesir.[21]
Perang-perang Salib dan Salahuddin
Perang-perang Salib (I, II, III, dan IV) adalah perang yang dikobarkan oleh kaum Krisetn melawan kaum Muslimin. Perang Salib ini bermula semenjak tahun 1096 M dan berlanjut hingga dua abad kemudian.[22] Peperangan ini berkecamuk dalam beberapa tingkatan.
Peristiwa bersejarah ini dikaji secara detil oleh para sejarawan dan salah satu literatur yang menulis peperangan ini secara detil adalah buku al-Kâmil fi al-Târikh karya Ibnu Atsir yang kira-kira bermula semenjak pertengahan jilid 22 hingga pertengahan jilid 24. Buku ini kurang lebih tujuh puluh persen yang berkaitan dengan perang-perang Salib dan Salahuddin.
Pada masa-masa perang ini, Salahuddin memerintahkan orang-orang kuat di pelbagai kota dan menguatkan fondasi-fondasi kota-kota supaya orang-orang Eropa tidak mampu mendekati daerah itu. Dari sisi lain, pasukan Salahuddin menyerang kota-kota di Suriah (Syam) yang jatuh di tangan orang-orang Eropa dan menaklukkannya kemudian menangkap orang-orang Eropa. Salahuddin dalam masa kurang dari lima tahun banyak menguasai kota-kota, namun yang lebih penting dari semua  itu adalah penaklukkan Baitul Muqaddas.
Kota Baitul Muqaddas merupakan salah satu tempat strategis dan sangat penting dari sudut pandang keagamaan. Baitul Muqaddas adalah tempat strategis dan ideologis. Kota ini pada perang Salib I jatuh di tangan orang-orang Kristen dan Salahuddin mampu mengambil alih kota tersebut dari tangan orang-orang Kristen.
Shalahudin dengan menaklukkan Baitul Muqaddas dan membebaskannya dari tangan orang-orang Kristen, mampu membuat namanya terkenal dan terpatri di seantero penjuru kota Islam.
Kiprah Salahuddin khususnya dalam peperangan Salib, menjadi sebab ia dikenal dan dihormati di kalangan kaum Muslimin khususnya Sunni dan kebanyakan ulama dan sejarawan Sunni menyebutnya namanya dengan harum.
Akan tetapi keterkenalan dan kiprahnya tidak dapat menjadi dalih bahwa seluruh perbuatannya dapat dibenarkan. Ia juga melakukan tindakan-tindakan yang secara moral dan syariat tidak benar dan bahkan dapat dipandang sebagai perbuatan tercela. Salah satu dari perbuatan tercelanya adalah sikapnya terhadap orang-orang Syiah yang telah disebutkan sebelumnya.
Di samping itu, supaya tidak membiarkan orang-orang Kristen begitu saja tanpa balasan, ia juga melakukan tindakan serupa. Membunuh dan merampas, banyak menyiksa rakyat sipil sebagaimana yang dilakukan orang-orang Kristen setelah menaklukkan kota-kota. Ia juga melakukan hal yang sama setelah menaklukkan kota-kota. Perbuatan-perbuatan ini meski pada masa tersebut dinilai sebagai perbuatan biasa, namun sekali-kali kita tidak dapat memandangnya sebagai perbuatan islami.
Pada kesempatan ini, kami akan mencukupkan dengan menyebutkan beberapa contoh dari perbuatannya:
"…Salahuddin singgah di tepi pada Nahr al-Aswad. Di tempat itu ia membunuh dan menjarah harta orang-orang di kota itu."
 "…Salahuddin pergi ke Ra's al-'Ain dan mengusir orang-orang di tempat itu. Kemudian ia membawa lasykar ke Mardin (sekarang bagian tenggara Turki) dan ditempat itu ia menjarah dan memunuh orang-orang di tempat itu. "
"…Salahuddin menjarah kota Tabariyah (Tiberia, Suriah) dan membakarnya.
Wafat Salahuddin
Pada bulan Shafar tahun 589, Salahuddin Yusuf bin Ayyub bin Syadzi panglima Mesir, Suriah, al-Jazirah dan kota-kota lainnya, tutup usia di Damaskus. Ia menjadi penguasa di Mesir pada tahun 564 H. Ia sakit disebabkan karena ia pergi untuk menemui jama`ah haji. Ia pulang dan jatuh sakit. Sakitnya sangat keras. Ia bertahan selama 8 hari dari saat ia jatuh sakit, lalu meninggal dunia

Sejarah Islam (Sejarah Berdirinya Dinasti Al-ayyubiyah)


Ihsan Nurhidayat

Rangkuman materi:
1.1  Sejarah Pembentukan Dinasti Al-ayyubuyah (569-650/ 1174-1252 M)
            1.1.1      Berdirinya dinasti Al-ayyubiyah
Bani Ayyubiyah merupakan keturunan Ayyub suku Kurdi. Pendiri dinasti ini adalah Salahuddin Yusuf al-Ayyubi putra dari Najamuddin bin Ayyub. Pada masa Nuruddin Zanki (Gubernur Suriah dari bani Abbasiyah), Salahuddin diangkat sebagai kepala garnisum di Balbek.
Kehidupan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi penuh dengan perjuangan dan peperangan. Semua itu dilakukan dalam rangka menunaikan tugas negara untuk memadamkan sebuah pemberontakan dan juga dalam menghadapi tentara salib.
Perang yang dilakukannya dalam rangka untuk mempertahankan dan membela agama. Selain itu Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga seorang yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap umat agama lain, hal ini terbukti:
a.       Ketika beliau menguasai Iskandariyah ia tetap mengunjungi orang-orang kristen
b.      Ketika perdamaian tercapai dengan tentara salib, ia mengijinkan orang-orang kristen berziarah ke Baitul Makdis.
Keberhasilan beliau sebagai tentara mulai terlihat ketika ia mendampingi pamannya Asaduddin Syirkuh yang mendapat tugas dari Nuruddin Zanki untuk membantu Bani Fatimiyah di Mesir yang perdana menterinya diserang oleh Dirgam. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berhasil mengalahkan Dirgam, sehingga beliau dan pamannya mendapat hadiah dari Perdana Menteri berupa sepertiga pajak tanah Mesir. Akhirnya Perdana Menteri Syawar berhasil menduduki kembali jabatannya pada tahun 1164 M.
Tiga tahun kemudian, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi kembali menyertai pamannya ke Mesir. Hal ini dilakukan karena Perdana Menteri Syawar bersekutu/ bekerjasama dengan Amauri yaitu seorang panglima perang tentara salib yang dulu pernah membantu Dirgam. Maka terjadilah peperangan yang sangat sengit antara pasukan Salahuddin dan pasukan Syawar yang dibantu oleh Amauri. Dalam. Dalam peperangan tersebut pasukan Salahuddin berhasil menduduki Iskandariyah, tetapi ia dikepunt dari darat dan laut oleh tentara salib yang dipimpin oleh Amauri. Akhirnya peperangan ini berakhir dengan perjanjian damai pada bulah Agustus 1167 M, yang isinya adalah sebagai berikut:
a.       Pertukaran tawanan perang
b.      Salahuddin Yusuf al-Ayyubi harus kembali ke Suriah
c.       Amauri harus kembali ke Yerusalem
d.      Kota Iskandariyah diserahkan kembali kepada Syawar.
Pada tahun 1169, tentara salib yang dipimpin oleh Amauri melanggar perjanjian damai yang disepakati dahulu yaitu Dia menyerang Mesir dan bermaksud untuk menguasainya. Hal itu tentu saja sangat membahayakan keadaan umat islam di Mesir, karena:
a.       Mereka banyak membunuh rakyat di Mesir
b.      Mereka berusaha menurunkan Khalifah al-Adid dari jabatannya
Khalifah al-Addid mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai Perdana Menteri Mesir pada tahun 1169 M. ini merupakan pertama kalinya keluarga al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri, tetapi sayang beliau menjadi Perdana Menteri hanya dua bulan karena meninggal dunia. Khalifal al-Adid akhirnya mengangkat Salahuddin Yusuf al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri menggantikan pamannya Asaduddin Syirkuh dalam usia 32 tahun. Sebagai Perdana Menteri beliau mendapati gelah al-Malik an-Nasir artinya penguasa yang bijaksana.
Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimah) yang terakhir wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penyh untuk menjalankan peran keagamaan dan politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa hingga sekitar 75 tahun lamanya.
            1.1.2        Penguasa-penguasa Dinasti Al-Ayyubiah
Selama lebih kurang 75 tahun dinasti Al-Ayyubiyah berkuasa, terdapat 9 orang penguasa yakni sebagai berikut:
1.      Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)
2.      Malik Al-Aziz Imaduddin (1193-1198 M)
3.      Malik Al-Mansur Nasiruddin (1198-1200 M)
4.      Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
5.      Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
6.      Malik Al-Adil Sifuddin, pemerintahan II (1238-1240 M)
7.      Malik As-Saleh Najmuddin (1240-1249 M)
8.      Malik Al-Mu’azzam Turansyah (1249-1250 M)
9.      Malik Al-Asyraf Muzaffaruddin (1250-1252 M)
Dalam uraian berikut akan dibahas mengenai penguasa-penguasa yang menonjol, yaitu:
1.      Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)
2.      Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
3.      Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)

1.      Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)
Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi tidak hanya dikenal sebagai seorang panglima perang yang gagah berani dan ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, beliau adalah seorang yang sangat memperhatikan kemajuan pendidikan. Salah satu karya monumental yang disumbangkannya selama beliau menjabat sebagai sultan adalah bangunan sebuah benteng pertahanan yang diberi nama Qal’atul Jabal yang dibangun di Kairo pada tahun 1183 M.
Selain itu beliau juga merupakan salah seorang Sultan dari dinasti Ayyubiyah yang memiliki kemampuan memimpin. Hal ini diketahui dari cara Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi dalam mengangkat para pembantunya (Wazir) yang terdiri dari orang-orang cerdas dan terdidik. Mereka antara lain seperti Al-Qadhi Al-Fadhil dan Al-Katib Al-Isfahani. Sementara itu sekretaris pribadinya bernama Bahruddin bin Syadad, yang kemudian dikenal sebagai penulis Biografinya.
Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi tidak membuat suatu kekuasaan yang terpusat di Mesir. Beliau justru membagi wilayak kekuasaannya kepada saudara-saudara dan keturunannya. Hal ini mengakibatkan munculnya beberapa cabang dinast Ayyubiyah berikut ini:
a.       Kesultanan Ayyubiyah di Mesir
b.      Kesultanan Ayyubiyah di Damaskus
c.       Keamiran Ayyubiyah di Aleppo
d.      Kesultanan Ayyubiyah di Hamah
e.       Kesultanan Ayyubiyah di Homs
f.       Kesultanan Ayyubiyah di Mayyafaiqin
g.      Kesultanan Ayyubiyah di Sinjar
h.      Kesultanan Ayyubiyah di Hisn Kayfa
i.        Kesultanan Ayyubiyah di Yaman
j.        Keamiran Ayyubiyah di Kerak

Salahuddin Yusuf al-Ayyubi dianggap sebagai pembaharu di Mesir karena dapat mengembalikan mazhab sunni. Melihat keberhasilannya itu Khlaifah al-Mustadi dari Bani Abbasiyah memberi gelar kepadanya al-Mu’izz li Amiiril mu’miniin (penguasa yang mulia). Khalifah al-Mustadi juga memberikan Mesir, an-Naubah, Yaman, Tripoli, Suriah dan Maghrib sebagai wilayah kekuasaan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi pada tahun 1175 M. sejak saat itulah Salahuddin dianggap sebagai Sultanul Islam Wal Muslimiin (Pemimpin umat ilam dan kaum muslimin).
Di antara orang-orang yang iri dan melakukan pemberontakan terhadap Salahuddi Yusuf al-Ayyubi adalah sebagai berikut:
a.       Pemberontakan yang dilakukan Nuruddin Zanki, ia memberontak karena kebesaran namanya tersaingi oleh Salahuddin Yusuf al-Ayyubi
b.      Pemberontakan yang dilakukan Hijab (Kepala rumah tangga Khalifah al-Adid), ia memberontak karena merasa hak-haknya banyak dikurangi.
c.       Pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Asassin yang dipimpin oleh Syakh Sinan karena merasa tersaingi.
d.      Pemberontakan yang dilakukan Zanki, kelompok ini merupakan permbela Al-Malik as-Salih yang bersekongkol dengan al-Gazi (penguasa Mosul dan paman Malik as-Salih Ismail) yang beusaha menjatuhkan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi karena merasa tersaingi.
Perang melawan tentara salib yang pertama adalah melawan Amalric 1, taja Yerusalem, yang kedua melawan Baldwin IV (putra Amalric 1), yang ketiga melawan Raynald de Chatillon (penguasa benteng Karak di sebelah tidur laut mati), yang keempat melawan Raja Baldwin V sehingga kota-kota seperti Teberias, Nasirah, Samaria, Suweida, Beirut, Batrun, Akra, Ramalah, Gaza Hebron dan Baitul Maqdis berhasil dikuasai oleh Salahuddin Yusuf al-Ayyubi.
Selain Clement III, para penguasa Eropa yang membantu dalam perang melawan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi adalah:
a.       Philip II, Raja Prancis
b.      Rivhard I, The Lion Heart (Hati Singa), Raja Inggris
c.       William, raja Sisilia
d.      Frederick Barbafossa, Kaisar Jerman
Setelah perang melawan tentara salib selesai, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi memindahkan pusat pemerintahannya dari Mesir ke Damaskus, dan dia meninggal di sana pada tahun 1193 M dalam usia 57 tahun.

2.      Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
Sering dipanggil Al-Adil nama lengkapnya adalah al-Malik al-Adil saifuddin Abu Bakar bin Ayyub. Dari nama Sifuddin inilah tentara salib memberi julukan Saphadin. Beliau putra Najmuddin Ayyub yang merupakan saudara muda Salahuddin Yusuf al-Ayyubi.
Setelah kematian Salahuddin, Ia menghadapi pemberontakan dari Izzuddin di Mosul. Ia juga menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa ketika terjadi perselisihan diantara anak-anak Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yaitu al-Aziz dan  al-Afdal. Setelah kematian al-Aziz. al-Afdal berusaha meduduki jabatan Sultan, akan tetapi al-Adil beranggapan al-Afdal tidak pantas menjadi Sulatan. Akhirnya terjadilah peperangan antara keduanya, al-Adil nberhasil mengalahkan al-Afdal dan beliau menjadi Sultan di Damaskus.
Al-Adil merupakan seorang pemimpin pemerintahan danpengatur strategi yang berbakat dan efektif.

3.      Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
Nama lengkap al-Kamil adalah al-Malik al-Kamil Nasruddin Abu al-Maali Muhammad. Selain dipuja karena mengalahkan dua kali pasukan salib ia juga dicaci maki karena menyerahkan kembali kota Yerusalem kepada orang Kristen.
Al-Kamil adalah putra dari al-Adil. Pada tahun 1218 al-Kamil memimpin pertahanan menghdapi pasukan salib yang mengepung kota Dimyat (Damietta) dan kemudian menjadi Sulatan sepeninggal ayahnya. Pada tahun 1219, Ia hampir kehilangan takhtanya karena konserpasi kaum kristen koptik. Al-Kamil kemudian pergi ke Yaman untuk menghindari konspirasi itu, akhirnya konspirasi itu berhasil dipadamkan oleh saudaranya bernama al-Mu’azzam yang menjabat sebagai gubernur Suriah.
Pada bulan Februari tahun 1229 M, al-Kamil menyepakati perdamaian selama 10 tahun denga  Federick II, yang berisi antara lain:
a.       Ia mngembalikan Yerusalem dan kota-kota suci lainnya kepada pasukan salib
b.      Kaum muslimin dan yahudi dilarang memalsuki kota itu kecuali disekitar Masjidil Aqsa dan Majid Umar.
Al-Kamil meninggal dunia pada tahun 1238 M. Kedudukannya sebagai Sultan digantikan oleh Salih al-Ayyubi.

            1.1.3        Berakhirnya dinasti Ayyubiyah
Runtuhnya Dinasti Ayyubiyah dimulai pada masa pemerintahan Sultan As-Salih. Setelah As-Salih meniggal pada tahun 1249 M, kaum Mamluk mengangkati estri As-Salih, Syajaratud Durr sebagai Sultanah. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Dinasti Ayyubiah di Mesir. Medkipun demikian dinasti Ayyubiyah masih berkuasa di Suriah. Pada tahun 1260 M. tentara Mongol hendak menyerbu Mesir. Komando tentara Islam dipegang oleh Qutuz, panglima perang Mamluk. Dalam pertempuran di Ain Jalut, Qutuz berhasil mengalahkan tentara Mongol dengan gemilang. Selanjutnya, Qutuz mengambil alih Kekuasaan Dinasti Ayyubiyah. Sejak itu, berakhirlah kekuasaan Dinasti Ayyubiyah.

PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH


Oleh: Ihsan Nurhidayat
A.      Pendahuluan
Serangkaian peristiwa telah mengantar Bani Umayyah dalam mengukir sebuah sejarah  peradaban Islam. Dengan berakhirnya masa pemerintahan Ali bin Abi Tholib, maka berakhir pula masa khilafah, yang kemudian dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan dinasti yaitu  kerajaan, yaitu dinasti Bani Umayyah.
Sebutan Daulah Umayyah berasal dari nama “Umayyah  ibn ‘Abdi Syam ibn Abdi Manaf, salah seorang pemimpin suku Quraisy pada zaman Jahiliyyah. Bani Umayyah baru masuk Islam setelah Nabi Muhammad SAW berhasil menaklukan kota Mekkah (Fathu Makkah).[1]
B.       Rumusan Masalah
1.         Kapan dan Siapa sajakah Khalifah  Bani Umayyah?                                           
2.         Bagaimana Perkembangan Islam pada Masa Dinasti Umayyah?
3.         Bagaimana sistem pemerintahannya?                           
4.         Apa penyebab runtuhnya Dinasti Bani Umayyah?
                                                         
C.      Pembahasan      
1.    Masa Pemerintahan Bani Umayyah dan para Khalifahnya
Dinasti Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan bin Harb Umayyah. Bani Umayyah berdiri selama 90 tahun (40 – 132H/661 -750M), beribukota di Damaskus.
Daulah  Umayyah  diperintah  oleh 14 orang khalifah. Mereka itu adalah: Mu’awiyah (41 H/661), Yazid I (60/680), Mu’awiyah  II (64/ 683), Marwan I (96/683), Abdul Malik (65/685), Walid I  (86/705), Sulaiman (96/715), Umar II (99/717), Yazid II (101/720), Hisyam (105/724), Walid II (125/743), Yazid  III (126/744), Ibrahim (126/744), dan Marwan II (127-132/744-759).[2]  
2.    Perkembangan  Islam pada Masa  Dinasti Umayyah
Islam pada masa Dinasti Umayyah  banyak  mencapai  kemajuan, perkembangan serta mampu memperluas  wilayah  kekuasaan, Ini  berlangsung  pada masa pemerintahan khalifah  Walid bin Abdul Malik. Pada awal pemerintahan Muawiyah bin  Abi Sufyan telah mengadakan  perluasan  wilayah  kekuasaan  hingga daerah  sebelah  timur  India  dengan  mengutus  Mushallab  bin Abu  Sufrah dan wilayah  barat  hingga  Byzantium,  di bawah  pimpinan  Yazid  bin Muawiyyah. Selain  itu juga  berhasil menguasai  Afrika Utara.
Dalam usaha perluasan wilayah ke Byzantium ada tiga motivasi bagi Muawiyyah untuk menguasainya, yaitu:
1.    Byzantium merupakan basis agama Kristen Ortodok,  yang  sangat berbahaya bagi perkembangan agama Islam.
2.    Orang-orang Byzantium sering mengadakan perampokan sampai ke daerah Islam.  
3.    Byzantium merupakan wilayah yang mempunyai kekeyan yang melimpah.        
Pada masa pemerintahan berikutnya dibawah kekuasaan Walid bin Abdul Malik, berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai Afrika Utara yaitu ke Magrib al-Aqsho dan Andalusia (Spanyol). Atas kegigihan dan keberanian Musa bin Nushair dalam menguasai wilayah tersebut maka beliau diangkat oleh Walid sebagai gubernur untuk wilayah Afrika Utara. Dan ia terus melanjutkan usahanya dalam memperluas wilayah Islam sampai tepi lautan Atlantik dengan di pimpin Thariq bin ziad yang di bantu oleh Gran Julian. mereka juga diutus  untuk merebut wilayah Andalusia dan tepatnya pada tahun 711 M Thariq mendarat di sebuah Selat yang sekarang di sebut sebagai Selat Jabal Thariq atau Selat Gibraltar.           
Keberhasilan ini membuat peta perjalanan sejarah baru bagi umat Islam. Sebab satu persatu wilayah yang di lewati Thariq dapat dengan mudah di kuasainya, seperti kota Cordova, Granada dan Toledo, sehingga Agama Islam tersebar ke berbagai penjuru. Islam juga mampu memotivasi para pemeluknya untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang social, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya, sehingga di bawah kekuasaan Islam, Andalusia mampu mencapai puncak kejayaan.                                
Selain dalam memperluas wilayah kekuasaan, Dinasti Umayyah juga mengalami perkembangan dalam bidang kebudayaan di bandingkan dengan perkembangan pada masa sebelumnya, yaitu pada masa Khulafaur Rasyidin. Demikian pula perkembangan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan dengan baik. Diantara kebudayaan Islam yang mengalami perkembngn pada masa ini adalah seni sastra, seni rupa, seni suara, seni bangunan, seni ukir, dan sebagainya. Pada masa ini telah banyak bangunan hasil rekayasa umat Islam dengan mengambil pola Romawi, Persia, dan Arab. Salah satu dari bangunan itu adalah masjid Damaskus yang di bangun pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik dengan hiasan dinding dan ukiran yang sangat indah. Contoh lain adalah bangunan masjid-masjid di Cordova yang terbuat dari batu pualam.[3]                                        
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu kedokteran, filsafat, astronomi, ilmu pasti, ilmu bumi, ilmu sejarah, dan sebagainya. Kota yang menjadi pusat pusat kajian ilmu pengetahuan antara lain adalah Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova, Granada, dan lainnya. Dengan Masjid sebagai pusat pengajarannya, selain madrasah atau lembaga pendidikan yang ada.
3.    Sistem pemerintahan pada masa Daulah Umayyah
Pemindahan kekuasaan kepada Muawiyah mengakhiri bentuk demokrasi, kekhalifahan menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun temurun), yang diperoleh tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Penggantian khalifah secara turun  temurun dimulai dari sikap Mu’awiyah yang mengangkat anaknya, Yazid, sebagai putera mahkota. Sikap Mu’awiyah seperti ini dipengaruhi oleh keadaan Syiria selama dia menjadi gubernur disana. Dia memang bermaksud mencontoh monarchi heridetis di Persia dan kekaisaran Byzantium.[4]
Pada masa Abdul Malik ibn Marwan, jalannya pemerintahan di tentukan oleh empat  departemen pokok (diwan). Keempat departemen (kementrian) itu adalah:
1.    Kementrian Pajak Tanah (diwan al-kharraj) yang tugasnya mengawasi departemen keuanagan
2.    Kementrian Khatam (diwan al-Khatam) yang bertugas merancang dan mengesahkan ordonasi pemerin pemerintah.
3.    Kementrian Surat Menyurat (diwan al-Rasail), di percayakan untuk mengontrol permasalahan di daerah – daerah dan semua komunikasi dari gubernur –gunernur.
4.    Kementrian urusan perpajakan(diwan al-mustagallat).
4.    Penyebab Runtuhnya Dinasti Umayyah
Kejayaan Bani Umayyah berakhir pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz (Umar II). Pemerintahannya hanya bertahan 2 tahun 5 bulan   Sepeninggal Umar II kekhalifahan mulai melemah dan akhirnya hancur. Para khalifah pengganti Umar II selalu mengorbankan kepentingan umum untuk kesenangan pribadi. Perselisihan antara para putera mahkota serta perselisihan diantara para pemimpin daerah (gubernur) merupakan sebab-sebab lain yang membawa kehancuran kekuasaan Bani Umayyah. Abu al-Abbas mengadakan kerja sama dengan kaum Syi’ah. Pada tahun 750 M pertempuran terakhir antara pasukan Abbasiyah yang di pimpin oleh Abu Muslim al- Khurasani dan pasukan Muawiyah terjadi di Irak. Tidak lama kemudian Damaskus jatuh ke tangan kekuasaan Bani Abbas.
Sebab-sebab runtuhnya dinasti umayyah
          Sebab Utama
1.      Terjadi persaingan kekuasaan di dalam anggota keluarga bani umayyah
2.      Tidak ada pemimpin politik dan militer yang handal yang mampu menjadikan kekuasaan dan menjaga keutuhan Negara
3.      Muncul berbagai gerakan perlawanan
4.      Serangan pasukan Abu Muslim Al- Khursani dan pasukan Abul Abbas
1.      Sebab Umum
a)      Sistem pemerintahan khalifah menjadi kerajaan
b)      Pengkhianatan kesepakatan di daumatul jandal
c)      Menyalahi perjanjian madain antara muawiyah dan Hasan bin Ali
d)     Pengangkatan putra mahkota lebih dari satu
2.      Sebab Khusus
a)      Pertentangan keras antara kelompok mudariyah yaitu kelompok arab yang menempati irak dengan kelompok himariyah yaitu kelompok arab selatan yang menempati wilayah suriah. Persaingan mencapai puncaknya, karena para khalifah bani umayyah cenderung memihak hanya kepada satu kelompok.
b)      Ketidak puasan sejumlah orang islam non arab. Mereka dari kalangan mawali yaitu bangsa yang di kalahkan dan ikut memajukan dinasti umayyah namun mereka tidak mendapat kedudukan dan hak bernegara tidak di kabulkan. Sedangkan orang arablah yang mendapat fasilitas dari penguasa bani umayyah.
c)      Kemewahan dan keborosan di kalangan istana.
d)      Terbentuknya dinasti umayyah tidak terlepas dari konflik-konflik politik. Kaum syiah dan khowarij semakin berkembang menjadi gerakan oposisi kuat yang sewaktu-waktu dapat meruntuhkan dinasti umayyah. Gerakan bani abbasiyah yang semakin kuat dan tidak tertandingi, akhirnya dapat menggeser kekuasaan dinasti umayyah.[5]
1.      Sebab intern
a)         Khalifah memiliki kekuasaan absolut
b)         Gaya hidup yang mewah
c)         Tidak ada ketentuan yang tegas mengenai sistem pengangkatan khalifah
2.      Sebab ekstern
a)         Konflik Islam dan Kristen
b)        Tidak adanya ideology pemersatu
c)         Kesulitan dalam ekonomi
d)        Keterpencilan
e)  Banyaknya gerakan pemberontakan  selama masa-masa pertengahan hingga akhir pemerinyahan bani umayyah
f)         Pertentangan antara arab utara (arab mudariyah ) dan arab selatan (arab himariyah) [6]
D.      Kesimpulan
1.      Dinasti bani umayyah didirikan oleh muawiyah bin abu sofyan bin harb bin umayyah dinasti umayyah berdiri selama 90 tahun (40-132 H/661-750 M), beribukota di damaskus.
2.      Islam pada masa dinasti umayyah mencapai banyak kemajuan di segala bidang terutama dalam perluasan wilayah.
3.      Sistem pemerintahan dinasti umayyah mengakhiri bentuk demokrasi dari khalifah sebelumnya yang menjadi monarki.
4.      Runtuhnya dinasti umayyah di sebabkan oleh banyak sebab, diantaranya sebab umum dan khusus, sebab ekstern dan intern dan ada juga sebab utama